Menu

Mode Gelap
Soft Launching Marhaen TV, Sabtu 26 Maret 2022 Mas Tok – Guntur Soekarno : Demokrasi Indonesia itu Demokrasi 50 plus 1 | Bincang Bareng Tokoh 001 GPM Maluku Utara Desak Pertanggungjawaban PLN atas Dugaan Kelalaian di Gane Barat Marhaenisme Bung Karno: Masih Relevan di Zaman Sekarang? Buku Darmo Gandul: Refleksi Kepemimpinan dan Budaya Jawa dalam Sejarah dan Kearifan Lokal

Sosok · 20 Apr 2025 17:08 WIB ·

Bung Moegiono di Mata Prof. Arief Hidayat: Preman Intelek, Marhaenis Sejati


					kenangan tahun 2010 Perbesar

kenangan tahun 2010

Dalam kenangan panjang Prof. Arief Hidayat, sosok Bung Moegiono bukan hanya seorang senior di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip), tetapi juga inspirasi tentang keberanian, kesetiaan pada ideologi, dan keunikan karakter yang sulit dilupakan. “Saya kenal Bang Moegiono sejak tahun 1975,” ujar Prof. Arief memulai kisahnya. Saat itu, ia baru masuk FH Undip dan mengikuti program Penerimaan Orientasi Studi Mahasiswa (POSMA).

Dalam suasana awal perkuliahan yang penuh orientasi dan ketegangan khas mahasiswa baru, Arief muda yang kala itu berambut panjang sebahu, sama seperti Bung Moegi, langsung menarik perhatian sang senior. Dengan gaya bercanda khas, Bung Moegi menyapa, “Kowe preman ya? Gabung sini saja!” Dari situlah awal keakraban mereka terjalin. Bung Moegi kemudian memintanya menjadi petugas jaga sepeda, duduk berdua dengan para senior FH lainnya.

Kedekatan itu berlanjut saat Arief mulai aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Ia bergabung sebagai kader muda GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), tempat Bung Moegi sudah dikenal sebagai salah satu tokoh utamanya. Bersama nama-nama seperti Yana Dewata, Gerson, Wiwik Wibowo, dan juga rekan dari fakultas lain seperti Bambang Pranoto dari Teknik, BB Wiryawan dari FISIP, serta Safrudin dari Ekonomi, mereka membentuk komunitas diskusi dan pergerakan mahasiswa yang solid dan ideologis.

Baca Juga :  Ada Arief Hidayat, Hakim MK ada pula Arief Hidayat, Diplomat Karier

Tak hanya di lingkungan intra kampus seperti senat mahasiswa, dewan mahasiswa, dan majelis permusyawaratan mahasiswa, pergaulan mereka juga akrab di lingkup ekstra kampus, seperti di Panti Marhaen, Semarang—markas spiritual dan ideologis para marhaenis muda saat itu.

Di mata Prof. Arief, Bung Moegi bukan hanya tokoh GMNI garis keras. Ia adalah “preman intelek” yang mengajarkan arti keberanian dan kesetiaan terhadap ajaran marhaenisme serta Pancasila. “Mas Moegi selalu memberikan contoh keberanian untuk tetap berada di garis marhaenisme yang berpihak pada rakyat tanpa pandang bulu,” kenang Prof. Arief.

Namun, keberanian Bung Moegi tidak menjadikannya sosok yang arogan atau anti-ilmu. Justru, ia berpadu kontras dengan sosok Yana Dewata—teman seperjuangan yang dikenal sebagai GMNI intelektual kampus. “Saya terinspirasi menggabungkan model keduanya: keberanian ala Moegi dan intelektualitas ala Yana,” ujar Prof. Arief, mencerminkan jalan yang kemudian ia tempuh dalam karier akademik dan kepemimpinan.

Baca Juga :  Arif Adi Kuswardono: Dari Aktivis GMNI hingga Penjaga Transparansi Informasi Publik

Salah satu kenangan lucu namun bermakna adalah saat Bung Moegi harus menghadapi ujian skripsi. Ironisnya, sang senior yang garang dan penuh percaya diri itu justru terlihat gugup ketika berhadapan dengan pembimbingnya—alm. Prof. Soedarto, tokoh besar hukum pidana Indonesia dan Rektor Undip kala itu. “Beliau sangat pemberani, tapi menghadapi Prof. Soedarto tampak takut dan sangat menghormatinya,” kisah Prof. Arief sambil tertawa. Saat itu, Prof. Arief yang lebih muda justru sudah lebih dulu lulus dan menjadi asisten dosen, bahkan mendampingi Bung Moegi saat ujian skripsinya.

Kisah itu menjadi ironi manis: sang “preman kampus” yang vokal dan tegas di gelanggang mahasiswa ternyata tetap menjunjung tinggi adab akademik. Di situlah terlihat dimensi lain dari Bung Moegi—sosok yang bukan hanya keras kepala dalam prinsip, tapi juga lembut hati dalam menghormati guru dan ilmu.

Ketika ditanya soal kenangan terakhir, Prof. Arief menjawab lirih, “Terakhir setelah Lebaran, saya menengok beliau di rumahnya di Tegalsari. Beliau sudah dijaga putrinya dan… sudah tidak ingat saya.” Jawaban itu disampaikan dengan kesedihan yang dalam. Sosok senior yang dulu begitu tegas dan membara kini menua dalam diam, membawa kenangan yang tinggal dalam ingatan sahabat-sahabatnya.

Baca Juga :  Riad Oscha Chalik: Dari Aktivis GMNI hingga Penggerak Olahraga Kota Bekasi

Kepergian Bung Moegi meninggalkan duka mendalam. Bagi Prof. Arief, kehilangan ini bukan hanya kehilangan seorang teman atau senior, tetapi juga kehilangan salah satu simbol keberanian dan idealisme mahasiswa era 70-an. “Saya sangat kehilangan seorang senior yang pemberani,” ucapnya.

Bung Moegiono, dalam ingatan Prof. Arief Hidayat, adalah simbol dari generasi mahasiswa yang tak hanya kritis dan aktif, tetapi juga memiliki keberanian moral untuk berpihak pada rakyat, serta kesetiaan pada ideologi marhaenisme dan nilai-nilai Pancasila. Ia adalah contoh langka dari “preman intelek” yang gigih, setia, namun tetap rendah hati.

Dalam era ketika keberanian sering tergerus kompromi, kisah Bung Moegiono menjadi pengingat bahwa idealisme sejati tak pernah mati—ia hanya tinggal dalam hati mereka yang berani mengenang dan melanjutkan.

 

Artikel ini telah dibaca 329 kali

Avatar photo badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Hari Bumi 2025: Ketua Forum Penyelamat Hutan Jawa, Eka Santosa: Bapak Langit, Indung Bumi

23 April 2025 - 11:39 WIB

Dhia Prekasha Yoedha: Dari Aktivis GMNI Menuju Penggerak Media dan Perlawanan Demokratis

26 Maret 2025 - 18:38 WIB

Ada Arief Hidayat, Hakim MK ada pula Arief Hidayat, Diplomat Karier

25 Maret 2025 - 12:20 WIB

Arif Wibowo: Dari Aktivis GMNI hingga Pilar Demokrasi di Panggung Politik Nasional

21 Maret 2025 - 09:19 WIB

Ario Bimo: Dari Aktivis GMNI hingga Politisi PDIP yang Berpengaruh

21 Maret 2025 - 09:15 WIB

Arif Adi Kuswardono: Dari Aktivis GMNI hingga Penjaga Transparansi Informasi Publik

21 Maret 2025 - 08:54 WIB